Senin, 23 Juli 2012

BOGOWONTO - Kayak Trip


Memperluas wawasan dan memperdalam pengetahuan tentang karakteristik sungai tentu mustahil dilakukan jika kita hanya berkutat di satu sungai saja. Karena itulah beberapa waktu yang lalu kami – team operasional KAYAKING JOGJA – meluncur ke arah barat dan mendayung kayak kami di arus sungai BOGOWONTO, di daerah Bagelen, kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

Peta lokasi pengarungan

Sungai Bogowonto adalah sungai yang terletak di wilayah Provinsi Jawa tengah yang bermuara ke Laut Selatan tepatnya di sebelah barat pantai Congot, Kabupaten Kulonprogo. Sungai ini berhulu di dataran tinggi di daerah Kedu, di sekitar lereng gunung Sumbing dan merupakan satu dari dua sungai cukup besar di Jawa Tengah yang bermuara ke pantai selatan, selain Sungai Serayu.

Sungai Bogowonto merupakan batas alam bagian barat bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan wilayah Bagelen (sekarang Kabupaten Purworejo). Menurut sejarahnya, Sungai ini  mempunyai peranan yang sangat besar dalam perjalanan sejarah kerajaan Mataram Kuno (Hindu). Maharaja kerajaan Mataram Kuno terbesar yaitu Sri Maharaja Balitung Watukoro bahkan diebut-sebut berasal dari daerah Bagelen, sebuah wilayah yang berada di sepanjang aliran sungai Bogowonto. Nama ‘Watukoro’ kemudian disebut menjadi nama sungai Bogowonto pada waktu itu. Sungai watukoro kemudian disebut sungai Bogowonto karena pada waktu itu  di tepiannya sering terlihat pendeta (Begawan) yang sedang bersemedi atau bertapa.

Bogowonto yang asri
Berkayak menyusuri sungai yang telah menjadi bagian dari sejarah pekembangan kerajaan Mataram Hindu Kuno tentu merupakan sensasi tersendiri bagi kami. Selain untuk memperluas wawasan, perjalanan kayak ini juga memperdalam pengetahuan kami tentang karakter sungai dan berbagai macam permasalahannya. Selain itu pengarungan ini dapat di jadikan bahan referensi yang penting bagi kami penggiat kegiatan berkayak.




Beberapa hari sebelum pengarungan dimulai, kami telah mengumpulkan banyak informasi penting mengenai sungai ini. Salah satu yang terpenting adalah menentukan starting point dan finish-nya. Jarak pengarungan beserta durasi juga menjadi hal penting yang harus kami putuskan sebelum pengarungan, begitu juga pengetahuan umum mengenai sungai ini. Browsing di internet dan bertanya langsung kepada pihak-pihak terkait menjadi andalan kami dalam mengumpulkan informasi. Setelah infomasi lengkap kami dapat, kami-pun memutuskan untuk mengarungi bagian bawah sungai ini, dengan jarak sekitar 8km, mulai dari daerah Karangsari, Bagelen, Purworejo, melewati Karangnongko, Sindutan, Jogoboyo, lalu finish di muara sungai ini di Pantai Congot, Temon, Kulonprogo.

Setelah start

Kami memulai pengarungan di suatu tikungan sungai di daerah Karangsari, tak jauh dari jalan utama Wates – Purworejo. Starting point ini mempunyai kedalaman tak lebih dari 1 meter dan lebar sungai hanya sekitar 30 meter. Meskipun berada tepat di tikungan sungai, arus di starting point ini sangat tenang sehingga memudahkan kami untuk memulai pengarungan. Dengan elevasi sekitar 15 meter dari muara sungai, pengarungan ini menjanjikan arus yang tidak begitu deras, apalagi lebar sungai cukup konstan melebar ke arah hilir – tidak terdapat penyempitan badan sungai- sehingga tidak ada perubahan kecepatan arus yang cukup berarti.

menikmati pemandangan
Begitu meninggalkan starting point, kami langsung berhadapan dengan wajah sungai yang cukup menawan. Vegetasi di pinggiran sungai cukup beragam dan menarik. Mulai dari sengon, deretan pohon angsana, mahoni, dan pohon waru yang berjuntai hingga menjorok ke badan sungai, juga Rumpun bambu dan kelapa yang cukup mendominasi sepanjang pinggiran sungai. Keseluruhan badan sungai di awal pengarungan terletak agak jauh dari pemukiman sehingga sampah domestik jarang sekali ditemui di sungai ini.




menelusuri dinding batu
Penampang bebatuan andesit yang sebagian besar berderet di dinding sungai ini membuktikan bahwa banjir tahunan yang selalu melanda sungai ini tidak berpengaruh terhadap bentuk sungai. Batuan andesit ini - batuan tua yang telah ada di pinggiran sungai sejak letusan gunung sumbing yang terakhir (1730) -  terlihat indah berderet di sepanjang dinding sungai hingga ke pinggirannya dan menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi ikan-ikan dan bermacam hewan air yang lain. Apalagi dengan sampah yang sangat jarang dijumpai di sungai ini memperlihatkan bahwa sungai Bogowonto layak disebut sebagai sungai yang sehat dan minim polusi.

Deretan bebatuan andesit 

Mendayung di kerindangan pohon.
Sekitar 1km setelah start, angin menyerbu konvoi kayak kami, membentuk alur ombak  yang cukup untuk menggoyang kayak kami. Kayuhan sedikit terhambat, tapi pemandangan indah membayar lunas halangan kecil ini. Apalagi karena kami menyertakan seorang ‘junior kayaker’ yang masih berusia  9 tahun di dalam konvoi kami, kehati-hatian menjadi hal mutlak yang harus kami jaga. Sekitar setengah jam kemudian – ketika kami meninggalkan tikungan yang kedua, karakter sungai berubah; angin tidak lagi menyerbu dari depan melainkan dari arah samping sehingga mendorong kayak kami ke tepi sebelah kiri sungai. Beruntung banyak deretan pepohon menjuntai sampai ke badan sungai sehingga kami bisa mendayung sembari menghindari sengatan matahari.






Berteduh



Tikungan ketiga – saat kami meninggalkan desa Karangnongko - kami lewati dengan mudah. Tapi di balik tikungan angin kembali menerjang dari arah depan, membuat alur gelombang kembali menghadang. Di penggal sungai ini selain angin dan ombak sungai yang terus mengguncang, kami dipersulit oleh dangkalnya sungai. Kedalaman rata-rata hanya sekitar 30cm hingga dayung kami tidak bisa melesak dengan leluasa ke dalam air. Kayuhan menjadi terhambat meskipun kayak yang kami gunakan masih bisa dengan bebas melenggang bahkan di kedalaman kurang dari 30cm. Beberapa kali kami harus berhenti di kerindangan pohon waru untuk sekedar beristirahat dan menikmati pemandangan.

Berhenti sejenak


Dibawah naungan pohon waru


Sungai melebar di tikungan Sindutan



Penampang sungai semakin melebar, dimulai dari pertengahan pengarungan ketika kami memasuki daerah Sindutan. Muara sungai semakin dekat; angin laut mulai terasa dan air sungai terasa payau. Tetapi memasuki alur Sindutan, arus sungai justru melemah. Alirannya lambat dan arus hampir tak bergerak. Di penggal sungai ini, alirannya berjajar dengan jalan raya sindutan, yang merupakan jalan lintas pantai selatan. Di sisi selatan sungai rumah-rumah penduduk berjejer yang menjadi pembatas antara sungai Bogowonto dengan jalan raya Sindutan.



Menuju muara
Kami terus melaju meninggalkan Sindutan, melewati jembatan, dan mendayung lurus ke arah muara. Jembatan yang kami lewati adalah jembatan di jalan Deandels (jalur lintas selatan), dan dari situ wajah sungai benar-benar berubah. Kedua sisinya tidak lagi berdinding bebatuan andesit, tapi rumpun pohon mangrove yang menjadi latar depan deretan pohon-pohon kelapa. Tepian sungai tak lagi berpasir melainkan lumpur coklat pekat khas daerah muara. Lebar sungai bertambah secara signifikan menjadi lebih dari 80m dan kedalaman sungai berkurang drastis kurang dari 50cm.

Menerobos pohon tumbang


Galang (9th) Junior Kayaker

Beberapa puluh meter setelah jembatan Deandels, konvoi kami harus melaju melawan gempuran ombak yang secara konstan menerjang dari arah depan. Angin bertambah dahsyat dan cipratan air terasa asin di mulut kami. Namun, gerombolan ikan yang meloncat-loncat seiring dengan kayuhan dayung kami membuat suasana tetap riang dan mencengangkan. Gerombolan ikan kecil itu terus menemani laju kayak kami sampai akhirnya kami mendarat dengan mulus di pasir pantai Congot yang hitam dan lembut.

Dangkal dan berombak menjelang muara
Beberapa saat menjelang finish
Melawan arus ombak muara


Finish di pasir pantai Congot
Kedatangan kami disambut oleh anak, istri, dan keluarga masing-masing yang dengan setia menunggu kami di Pantai Congot. Nikmatnya kopi ‘senthak’ menjadi pertanda berakhirnya pengarungan kami.

Angkat topi dan salut untuk warga di sepanjang sungai Bogowonto yang selalu menjaga kebersihan, kesehatan, serta keindahan sungai. Semoga dapat dijadikan teladan bagi warga yang bermukim di sepanjang sungai-sungai lain.

Dan buat sodara-sodara semuaaaa..... jangan lupa....., tetap cintai sungai yaaa......!!


Muara sungai Bogowonto di sore yang indah


Salam lestari,

Kayaking Jogja




4 komentar:

  1. Lurahe Gumuk Cakil23 Juli 2012 pukul 15.58

    Terimakasih sanjungannya. Sebagai warga Bagelen, saya jadi bangga. Sungai saya bersih yo??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ho'oh bener mas Lurah, sungai anda bersih dan indah tenan. Sampe jatuh hati aku...! Contact address-nya apa ya mas Lurah? Siapa tau bisa mampir kalo ke Bogowonto lagi.

      Hapus
  2. Selain lebih bersih, dari semua sungai yang pernah di arungi... kelihatannya sungai ini lebih seruuu dan menarik... hehehee... mungkin karena banyak pohon-pohon rindangnya yaaa...


    #Salam kenal maz, salam lestari.... xixixii... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali Jeng Devi, sungai ini seru, menarik, sekaligus aman krn kedalaman yg minimal. Selepas jembatan deandels, kerindangan pohon menghilang, tapi angin pantai menggantikan keteduhannya.

      Hapus

Komentar dari anda merupakan Kemajuan bagi kami agar selalu lebih baik dari sekarang. Tetap Cintai Sungai!!!!